Selasa, 22 Mei 2012

Permasalahan Ikhwah Mempersiapkan Pasca Kampus?

Sebagai seorang ikhwah yang menjadi aktivis dakwah kampus, memiliki perencanaan terhadap pasca kampus merupakan hal yang sangat penting. Masa kuliah yang hanya sebentar dan dunia masyarakat yang  berbeda dengan dunia kampus membuat ikhwah harus mempersiapkan diri dari awal. Banyaknya kendala yang dihadapi memerlukan kesiapan diri dan kesabaran untuk menyelesaikannya. Pada kesempatan kali ini halaqoh tujuh melakukan diskusi terhadap permasalahan ini. Permasalahan awal timbul berawal pada saat ikhwah kampus memcapai masa akhir studi, ketika tugas akhir menanti diselesaikan, dan pikiran harus sudah memiliki pandangan akan melangkah kemana kaki ini pasca kampus. Pada masa-masa yang bisa dibilang kritis untuk ikhwah kampus inilah keistiqomahan sedang di uji. Banyak yang kesulitan melewati ujian ini, tapi tidak sedikit yang  bisa melewati masa ini dengan baik. Beberapa permasalahan yang dihadapi antara lain:

1. Keistiqomahan untuk halaqoh (liqo’)
Halaqoh atau liqo’ yang sudah tertanam sebagai sarana tarbiyah ikhwah saat dikampus akan mengalami godaan. Untuk bisa tetap melanjutkan halaqoh pada pasca kampus, terkadang terkendala karena masalah adaptasi lingkungan baru, beban pikiran yang bertambah dan kesulitan untuk menemukan pengelola halaqoh pada wilayah tertentu. Kegalauan yang datang sering membuat semangat untuk dating ke halaqoh menurun, padahal kondisi seperti ini sangat bahaya karena bisa membuat ruhiyah ikhwah melemah dan yang paling buruk tidak melanjutkan halaqoh.

2. Pemilihan pekerjaan
Saat tuntutan kehidupan mandiri sudah datang, naluri alamiah ikhwah yang mendesak untuk segera mencari nafkah memberikan tekanan dalam memilih pekerjaan. Memilih pekerjaan yang lebih dekat dengan syar’I merupakan idealisme yang tertanam sejak di masa kampus. Permalahan yang membuat bimbang ialah ketika materi atau gaji menjadi godaan, menjadi pilihan yang sulit untuk melangkah. Pada kasus ini terkadang ikhwan memilih menjadi wirausahawan, namun memilih ini ikhwah juga harus memiliki kesiapan mental pula. Pandangan keluarga dan masyarakat ketika seorang yang baru lulus kuliah memulai wirausaha sekarang ini masih belum berpandangan positif. Mungkin ikhwah akan mampu menahan diri dari keluhan masyarakat, tapi perlu dipertimbangkan juga penilaian keluarga, orang tua belum tentu siap menanggapi pendapat masyarakat tentang keputusan ini. Pemilihan pekerjaan harus dipertimbangkan dengan beberapa pertimbangan tadi, baik ke syar’i-annya (kedekatan dengan nilai islam), pertimbangan keluarga dan penghasilan yang diperoleh.

3. Pemilihan pendamping hidup
Pada kasus ini mungkin beberapa ikhwah sudah mantab untuk memilih jodoh yang sesama ikhwah. Tapi ada juga ikhwah yang masih bimbang untuk memilih jodoh sesama ikhwah, amah ataupun  yang berbeda harokah. Pada kendala ini penjernihan pikiran dan hati dari hawa nafsu harus diutamakan, selain itu komunikasi dengan orang tua harus dengan baik. Terutama bagi ikhwah yang orangtuanya masih amah, menunjukan azam dan pertimbangan-pertimbangan terkait masa depan sendiri harus dilakukan agar kebahagiaan tidak hanya milik ikhwah yang menikah saja, tapi juga seluruh keluarga.

Saat ikhwah sudah kembali kemasyarakat menunjukkan identitas diri sebagai kader dakwah harus ditunjukkan. Jangan sampai menjadi orang yang tidak punya pendirian, layaknya bunglon yang merubah warna kulitnya sesuai dengan tempat dia berada. Tidak boleh ikhwah menjadi sesuatu yang meniru lingkungan, ketika lingkungan bersama dengan orang-orang shalih dia menjadi shalih, tapi saat dia berada pada lingkungan yang kufur dia ikut-ikutan kufur. Dengan menunjukkan identitas diri sebagai sorang kader dakwah, maka kita akan mampu memberikan kebaikan dan bisa menjadi orang yang menjadi rujukan masyarakat saat membutuhkan bantuan.

Maka dari itu peningkatab kapasitas diri tentang ruhiyah, fikriyah harus diperkuat. Tujuan pasca kampus harus mulai diteguhkan, dan kemandirian financial harus mulai dibangun untuk mempersiapkan diri. Wallahu a’lam bish showab

By: Halaqoh Tujuh

Jumat, 18 Mei 2012

Karakteristik Kedua Belas (Orang-Orang Lemah Boleh Menampakkan “Kemurtadan” )


Riwayat Ammar bin Yasir ketika disiksa oleh orang musyrik dengan dijemur di terik matahari atau dengan meletakkan batu besar yang membawa di atas dadanya. Ammar bin Yasir adalah budak milik Bani Makhzum. Ia dan kedua orang tuanya diketahui telah masuk islam. Kemudian orang-orang musyrik di bawah pimpinan Abu Jahal menyiksa mereka dengan menjemur mereka di terik matahari Mekkah.  Mereka berkata, “ Kami tidak akan meninggalkan kamu sampai kamu mencela Muhammad atau memuji Latta dan Uzza.” Akibat dahsyatnya penyiksaan akhirnya Ammar menyetujui mereka dalam keadaan terpaksa, kemudian ia datang menemui Rasulullah SAW. meminta maaf seraya menangis.. Maka Turunlah firman Allah,

Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)…..(An-Nahl [16] : 106)

Rasulullah bersabda kepada Ammar bin Yasir, setelah mendengar kisah yang dialaminya, “ Bagaimana kamu dapati hatimu? Ammar menjawab, “Dalam keadaan tenang dalam keimanan. “Sahut Nabi SAW., “Jika mereka kembali (menyiksamu) maka ulangilah lagi (sikapmu).”

Dengan demikian, perbedaan tingkatan (mustawa) dalam gerkan Islam itu sangat memungkinkan. Tingkatan antara Sabar menanggung siksaan sampai mati, yang mencerminkan ‘azimah ‘hukum asal’ dan terpaksa menampakkan kekafiran, yang mencerminkan rukhshah ‘keringanan’. Sekalipun kedua sikap tersebut dibolehkan, tetapi sabar menanggung cobaan dan penyiksaan meskipun mengakibatkan syahid di jalan Allah adalah lebih utama dan mulia di sisi Allah.

Bahkan, kadang-kadang mengambil sikap yang mencerminkan ‘azimah menjadi ketentuan apabila orang yang bersangkutan adalah seorang da;I yang memiliki kedudukan penting di masyarakatnya atau menjadi qudwah yang melalui dirinya orang mengetahui islam. Karena bila tokoh seperti dia mengambil rukhshah (miris), boleh jadi akan melemahkan keyakinan masyarakat terhadap aqidah islam dan menimbulkan kegoncangan di kalangan orang-orang lemah. Tiada sesuatu yang lebih besar pengaruhnya pada keyakinan dalam diri manusia, selain daripada keteuhan para tokoh (rijal) dalam mempertahankan aqidah, Tetapi, kita tidak mengecam atau mencela orang yang miris akibat dahsyatnya penyiksaan, bahkan kita dapat memaklumi sikapnya tersebut.

Wallahu A’lam bish Showab.

By: Muhammad Faliqul Asbah

Karakteristik Kesebelas (Sabar Menanggung Siksaan dan Penindasan di Jalan Allah)


Pada masa ini setiap kabilah telah melancarkan berbagai penyiksaan terhadap putra-putra dan budak-budak mereka untuk memalingkan dan menghalangi mereka dari jalan Allah. Di antara kebiasaan orang musrik ialah mengikat sebagian sahabat di punggung onta dan sapi kemudian melemparkannya di padang pasir yang membakar. Bahkan, sebagian mereka ada yang dipakaikan baju besi kemudian dilempar ke batu-batu yang membara. Daftar orang yang disiksa karena Allah ini sangat panjang dan menyakitkan. Berikut ini beberapa contohnya:

Adalah Abu Jahal apabila mendengar seorang mulia dan kaya masuk islam, ia mengancam dengan kerugian harta dan penodaan kehormatan. Dan, apabila yang masuk Islam itu orang lemah, ia memukul dan menyiksanya.

Sedangkan, paman dari Utsman bin Affan biasa menyiksa orang yang masuk islam dengan cara membungkus orang itu dengan tikar anyaman daun korma kemudian membakarnya sampai kulitnya terkelupas seperti ular.

Umayyah bin Khalaf al-Jamhi pernah menyiksa budaknya, Bilal dengan mengikatkan tali ke lehernya kemudian diserahkan kepada anak-anak untuk diseret mengelilingi lereng-lereng Mekah sampai bekas tali itu di lehernya. Sementara itu, Umanyyah memukulinya dengan tongkat sambil sesekali mengencangkan ikatan tali di lehernya. Bahkan, Umanyyah pernah memaksanya duduk di terik matahari padang pasir dalam keadaan lapar. Dan lebih kejam dari itu, Bilal pernah di jemur di tengah kota Mekkah kemudian ditindih dengan batu besar di dadanya seraya dikatakan kepadanya, ’Demi Allah, kamu akan begini terus sampai mati atau kamu ingkar kepada Muhammad dan menyembah Lata dan Uzza.’ Sekalipun demikian tetap menjawab, ‘Ahad, ahad,’ sampai pada suatu hari Abu Bakar melewatinya kemudian membelinya dari mereka dengan tujuh uqiah.

Amar bin Yasir adalah budak milik Bani Makhzum. Ia dan kedua orang tuanya diketahui masuk Islam. Kemudian orang-orang mesyrik di bawah pimpinan Abu Jahal menyiksa mereka dengan menjemur mereka di terik matahari Mekah. Pada suatu hari Nabi SAW. melewati mereka sedang disiksa, kemudia bersabda, ‘Bersabarlah wahai keluarga Yasir, sesungguhnya kalian dijanjikan surge.’ Akhirnya, Yasir syahid karena penyiksaan, sedangkan Sumaiyyah ditusuk duburnya oleh Abu Jahal dengan parang sehingga mengakibatkan kematiannya. Maka tercatatlah (Sumaiyyah) sebagai syahidah yang pertama masuk islam. Selanjutnya, mereka memperkeras penyiksaan terhadap Ammar, kadang-kadang dengan menjemurnya di terik matahari dan kadang-kadang pula meletakkan batu besar di dadanya. Mereka berkata, ’Kami tidak akan meninggalkan kamu sampai kamu mencela Muhammad atau memuji Lata dan Uzza’ …’
Allahu A’lam


By: Kelik Isbiyantoro

Senin, 07 Mei 2012

TILAWAH YAUMIYAH (1 JUZ SEHARI)


“Hendaklah anda memiliki wirid harian membaca Al – Qur’an minimal satu juz satu hari, dan berusahalah agar jangan sampai mengkhatamkan Al – Qur’an melewati satu bulan.” (Hasan Al – Banna dalam Majmuatur Rasail -Risalah Pergerakan-)

Saudaraku, sadarkah kita bahwa Al – Qur’an diturunkan oleh Allah kepada manusia agar menjadi sumber tazwid (pembekalan) bagi peningkatan ruhiy (spiritualitas), fikri (pemikiran) serta minhaji (metodologi dakwah). Sehingga jika sehari saja kita jauh dari Al – Qur’an, berarti terputuslah dalam diri kita proses tazwid tersebut. Sadarkah kita bahwa yang akan terjadi adalah proses tazwid dari selain wahyu Allah. Baik itu dari televisi, Koran, majalah, maupun yang lainnya, yang sesungguhnya akan menyebabkan ruh ringkih dan keyakinan yang melemah terhadap fikroh dan minhaj. Padahal tiga unsur ini sesungguhnya menjadi sumber energy untuk berdakwah dan berharokah. Sehingga melemahkan semangat beramal saleh dan hadir dalam halaqoh, padahal halaqoh merupakan pertemuan untuk komitmen beramal saleh. Dapat dibayangkan bagaimana jadinya kalau proses tazwid itu telah terputus sepekan, dua pekan, bahkan berbulan-bulan. Semoga Allah menjaga kita dari sikap menjadikan Al – Qur’an sebagai sesuatu yang mahjuran (ditinggalkan).

Berkatalah Rasul: “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al – Qur’an ini suatu yang ditinggalkan.” (Q.S. Al Furqan ayat 30)

Sesungguhnya ibadah tilawah satu juz ini sudah tertuntut kepada manusia sejak dia menjadi seorang muslim. Oleh karena itu, cukup banyak orang-orang yang tanpa tarbiyah atau halaqoh, namun memiliki komitmen tilawah satu juz setiap hari, sehingga setahun khatam 12 kali (bahkan lebih, karena saat bulan Ramadhan dapat khatam lebih dari sekali). Lalu, bagaimana dengan kita, ashhabul (aktifis) harokah wad da’wah. Sudahkah keislaman kita membentuk kesadaran iltizam (komitmen) dengan ibadah ini. Ketika kita melalikannya, dapat diyakini bahwa kendalanya adalah dha’ful himmah (lemah dan kurangnya kemauan), bukan karena tidak mampu melafalkan ayat-ayat Al – Qur’an seperti anggapan kita selama ini. Yang harus dibentuk dalam hal ini bukanlah hanya sebatas mampu membaca, namun lebih dari itu, bagaimana membentuk kemampuan ini menjadi moralitas ta’abbud (penghambaan) kepada Allah, sehingga hal ini menjadi sebuah proses tazwid yang berkesinambungan sesuai dengan jauhnya perjalanan da’wah ini. Dari sini kita menjadi paham, bahwa ternyata tarbiyah adalah sebuah proses perjalanan yang beribu-ribu mil jauhnya. Entahlah berapa langkah yang sudah kita lakukan. Semoga belum mampunya kita dalam beriltizam dengan ibadah ini adalah karena masih sedikitnya jarak yang kita tempuh. Jadi yakinlah, selama ini komitmen dengan proses terbiyah, dengan seizing Allah kita akan sampai kepada kemampuan ibadah ini. Dan sekali-kali janganlah kita menutupi ketidakmampuan kita kita terhadap ibadah ini dengan berlindung dibawah waswas syaithan dengan bahasa sibuk, tidak sempat, acara terlalu padat dan lain sebagainya.

Sadarilah bahwa kesibukan kita pasti akan berlangsung sepanjang hidup kita. Apakah berarti sepanjang hidup kita, kita tidak melakukan ibadah ini hanya karena kesibukan yang tidak pernah berakhir. Kita harus berfikir serius terhadap tilawah satu juz ini, karena ia merupakan mentalitas ‘ubudiyah (penghambaan), disiplin dan menambah tsaqofah. Apalagi ketika kita sudah memiliki kesadaran untuk membangun islam dimuka bumi ini, maka kita harus menjadi batu bata yang kuat dalam bangunan ini. Al Ustadz Asy Syahid Hasan Al – Banna Rahimahullah begitu yakinya dengan sisi ini, sehingga beliau menjadikan kemampuan membaca Al – Qur’an satu juz ini sebagai syarat pertama bagi seorang yang berkeringinan membangun masyarakat Islam. Dalam nasihatnya beliau mengatakan, “Wahai saudaraku yang jujur janjinya, sesungguhnya imanmu dengan bai’at (perjanjian) ini mengharuskanmu melaksanakan kewajiban-kewajiban ini agar kamu menjadi batu bata yang kuat, (untuk itu) : “Hendaklah anda memiliki wirid harian membaca Al – Qur’an minimal satu juz setiap hari, dan berusahalah sungguh-sungguh agar jangan sampai mengkhatamkan Al – Qur’an melewati satu bulan.” Sebagaimana kita saat melakukan hijrah dari kebidupan jahiliyah kepada kehidupan Islamiyah harus banyak menelan pih pahit selema proses tarbiyah, maka jika kita sudah berazam (bertekad) untuk meningkat kepada kehidupan yang ta’abbudi (penuh nilai ibadah), maka kita harus kembali menelan banyak pil pahit tersebut.

Kita harus sadar bahwa usia dakwah yang semakin dewasa, penyebarannya yang semakin meluas dan tantangannya yang semakin variarif sangat membutuhkan manusia-manusia yang Labinatan Qowiyyatan (laksana batu bata yang kuat). Dalam hal tersebut kuncinya terdapat di dalam interaksi dengan Al – Qur’an. Sebuah proses tarbiyah yang semakin matang, dengan indikasi hati dan jiwa yang semakin bersih, secara otomatis akan menjadikan kebutuhan terhadap Al – Qur’an mengalami proses peningkatan. Sejarah mencatat bahwa para sahabat dan salafusshalih ketika mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Bacalah Al – Qur’an dalam satu bulan”, maka bagitu banyak yang menyikapinya sebagai sesuatu yang minimal. Bayangkan dengan diri kita yang sering menganggap tilawah satu juz itu sebagai suatu yang maksimal. Maka tugas yang sangat minimal inipun sangat sering terkurangi, bahkan tidak teramalkan dengan baik. Bagaimana mungkin kita dapat mengulang kesuksesan para sahabat dalam membangun Islam ini, jika kita tidak melakukan apa yang telah mereka lakukan (walaupun kita sadar bahwa ibadah satu juz ini bukan satu-satunya usaha di dalam berdakwah). Sebutlah Utsman Ibn Affan, Abdullah Ibn Amr Ibn Ash, Abu Hanifah dan Imam Asy-Syafi’i Radiyallahu Anhum. Mereka adalah contoh orang-orang yang terbiasa menyelesaikan bacaan Al – Qur’annya dalam waktu tiga hari sapai satu pecan. Kerena bagi mereka khatan sebulan terlalu lama untuk bertemu dengan ayat-ayat Allah. Jadi, jika seseorang rutin setiap bulan khatam, berarti hanya sekali dalam sebulan ia bertemu dengan surat Maryam, misalnya. Dapat kita bayangkan seandainya kita berlama-lama dalam mengkhatamkan Al – Qur’an. Berarti kita akan sangat jarang bertemu dengan setiap surat dari Al – Qur’an. Kalau saja tarbiyyah qur’aniyyah kita telah matang, kita akan dapat merasakan bahwa sentuhan tarbawi (pendidikan) surat al-Baqarah berbeda dengan surat Ali Imran. Begitu juga beda antara surat an-Nissa, al-Maidah dengan surat lainnya. Sehingga ketika seseorang sedang membaca an-Nissa, pasti dia akan merindukan al-Maidah. Inilah suasana tarbiyyah yang belum kita miliki yang harus dengan serius kita bangun dalam diri kita. Kita harus waspada, hangan sampai hidup ini berakhir dengan kondisi kita melalaikan ibadah tilawah satu juz. Sehingga hidup berakhir dengan kenangan penyesalan. Padahal sesunggunya kita mampu kalau kita mau menambah sedikit saja mujahadah (kesungguhan) dalam tarbiyah ini.

Kiat Mujahada dalam bertilawah satu juz:
1.       Berusahalah melancarkan tilawah jika anda termasuk orang yang belum lancer bertilawah, karena ukuran normal tilawah satu juz adalah 30-40 menit. Jika lebih dari itu, anda harus lebih giat berusaha melancarkan bacaan. Jika melihat durasi waktu diatas, sangat logis untuk melakukan tilawah satu juz setiap hari dari waktu dua puluh empat jam yang kita miliki. Masalahnya, bagaimana kita dapat membangun kemauan untuk 40 menit bersama Allah, sementara kita sudah terbiasa untuk 40 menit bersama televise, ngobrol dengan teman dan lain sebagainya.
2.       Aturlah dalam satu halaqah, kesepakatan bersama menciptakan komitmen ibadah satu juz ini. Misalnya, bagi anggota halaqah ia tidak boleh pulang kecuali telah menyelesaikan sisa juz yang belum terbaca. Kiat ini terbukti lebih baik daripada ‘iqob (hukuman) yang terkadang hilang ruh tarbawi-nya dan tidak menghasilkan mujahadah yang berarti.
3.       Lalukanlah qadha tilawah setiap kali program ini tidak berjalan. Misalnya, carilah tempat-tempat yang kondusif untuk konsentrasi bertilawah. Misalnya di mesjid atau tempat yang bagi diri kita asing. Kondisi ini akan menjadikan kita lebih sejenak untuk hidup dengan sendiri, membangun tarbiyah qur’aniyyah didalam diri kita.
4.       Sering-seringlah mengadukan keinginan untuk dapat bertilawah satu juz sehari kepada Allah yang memiliki Al – Qur’an ini. Pengaduan kita yang sering kepada Allah yang sering, insya’allah menunjukkan kesungguhan kita dalam melaksanakan ibadah ini. Disinilah akan dating pertolongan Allag yang akan memudahkan pelaksanaan ibadah ini.
5.       Perbanyaklah amal saleh, karena setiap amal saleh akan menglahirkan energy baru untuk amal saleh berikutnya. Sebagaimana satu maksiat akan menghasilkan maksiat yang laen jika kita tidak segera bertaubat kepada Allah. Jika saat ini kita sering berbicara tentang ri’ayah maknawiyah (memperkaya jiwa), maka sesungguhnya Imam Syahid ini adalah cara me-ri’ayah maknawiyyah yang paling efektif dan dapat kita lakukan kapan saja dan dimana saja, ditinjau dari segi apapun, ibadah ini harus dilakukan. Bagi yang yakin akan pahala Allah, maka tilawah Al – Qur’an merupakan sumber pahala yang sangat besar. Bagi yang sedang berjihad, dimana dia membutuhkan tsabat (keteguhan hati), nashrulllah (pertolongan Allah), istiqomah, sabar dan lain sebagainya, Al – Qur’an tempat meraih semua ini. Kita harus serius melihat kemampuan tarbawi dan ta’abbudi ini, agar kita tergugah untuk bangkit dari kelemahan ini.

Kendala yang harus diwaspadai:
1.       Perasaan menganggap sepele apabila sehari tidak membaca Al – Qur’an, sehingga berdampak tidak ada keinginan untuk segera kembali membaca Al – Qur’an.
2.       Lemahnya pemahaman mengenai keutamaan membaca Al – Qur’an. Sehingga tidak termotivasi untuk bermujahadah dalam istiqomah membaca Al – Qur’an.
3.       Tidak memiliki waktu wajib bersama Al – Qur’an dan terbiasa membaca Al – Qur’an sesempatnya, sehingga ketika merasa tidak sempat ditinggalkannyalah Al – Qur’an.
4.       Lemahnya keinginan untuk memiliki kemampuan ibadah ini, sehingga tidak pernah memohon kepada Allah agar dimudahkan tilawah Al – Qur’an setiap hari. Materi do’a hanya berputar-putar pada kebutuhan dunia saja.
5.       Terbawa oleh lingkungan disekelilingnya yang tidak memiliki perhatian terhadap ibadah Al – Qur’an ini. Rasulullah berabda, ”Kualitas dien seseorang sangat tergantung pada teman akrabnya.”
6.       Tidak tertarik terhadap majelis-majelis yang menghidupkan Al – Qur’an. Padahal menghidupkan majelis-majelis Al – Qur’an adalah cara yang direkomendasikan Rasulullah agar orang beriman memiiliki ghirah berinteraksi dengan Al – Qur’an.”

Akibat tidak serius menjalankannya:
1.       Sedikitnya barokah dakwah atau amal jihadi kita, karena hal ini menjadi indikasi lemahnya hubungan seorang jundi pada Allah. Sehingga boleh jadi Nampak berbagai macam prosuktifitas dakwah dan amal jihadi kita, namun dikhawatirkan keberhasilan itu justru berdampak menjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
2.       Kemungkinan yang lain, bahkan lebih besar, adalah tertundanya pertolongan Allah SWT dalam amal jihadi ini. Kalau jidah salafuffhalih saja tertunda kemenangannya hanya karena meninggalkan sunah bersiwak (gosok gigi), apalagi karena meninggalkan suatu amal yang bobotnya jauh lebih besar dari itu? Oleh karena itu, masalah berinteraksi dengan Al – Qur’an selalu disinggung dengan ayat-ayat jihad, seperti surat Al-Anfaal dan al-Qitaal.
3.       Terjauhnya sebuah asholah (keaslian/orisinalitas) dakwah. Sejak awal dakwah ini dikumandangkan, semangatnya adalah dakwah bil qur’an. Bagaimana mungkin kita mengumandangkan dakwah bil qur’an kalau interaksi kita dengan Al – Qur’an sangat lemah? Bahkan sampai tak mencapai tingkat interaksi yang paling minim, sekedar bertilawah satu juz saja?
4.       Terjauhnya sebuha dakwah yang memiliki jawwul ‘ilmi (nuansa keilmuan). Hakikat dakwah adalah meningkatkan kualitas kelimuan umat yang sumber utamanya dari Al – Qur’an. Maka minimnya kita dengan pengetahuan ke - Al – Qur’an-an akan sanagt berdampak pada lemahnya bobot ilmiyyah diniyyah (keilmuan agama) kita. Dapat dibayangkan kalu saja setiap kader beriltizam dengan manhaj tarbiyyah yang sudah ada. Lebih khusus pada kader senior. Pasti kita akan melihat potret harokah dakwah ini jauh lebih cantik dan lebih ilmiyyah.
5.       Terjauhnya sebuah dakwah yang jauh dari asholatul manhaj. Bacalah semua kitab yang menjelaskan manhaj dakwah ini. Khususnya kitab Majmu’atur rosail (diterjemahkan oleh Ustadz Anis Matta dalam bahasa Indonesia dengan judul “Risalah Pergerakan”)! Anda akan dapat bigitu kental dakwah ini memberi perhatian terhadap interaksi dengan Al – Qur’an. Tidakkah kita malu ber-intima’ (menyandarkan diri) pada dakwatul ikhwah, namun kondisi kita jauh dari manhaj-nya? Semoga kita tergugah dengan tulisan ini, agar kita lebih serius lagi melaksanakan poin pertama dari pada wajibul akh (kewajiban aktiftis muslim) ini.


Muhammad Perdana

Senin, 30 April 2012

Karakteristik Kesepuluh (Membela Diri dalam Keadaan Darurat)


Islam tidak mengenal istilah balas dendam, tetapi di dalam islam terdapat perintah  “Dan orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zhalim mereka membela diri” (Asy-Syura [42]: 39). Ayat tersebut menjelaskan kepada kita bahwa ada sebagian dari kader dakwah gerakan islam tidak sama tingkatannya dalam menghadapi gangguan. Diantara mereka ada yang  disegani karena kekuatannya, atau keluarganya, atau kedudukannya. Kader dakwah yang semacam ini mampu memberikan balasan terhadap permusuhan dan perlakuankasar dari para musuh Allah. Sebagaimana yang  telah terjadi saat hijrahnya Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu, dimana disebutkan bahwa setelah Umar masuk islam berjuang melawan serangan mereka sampai matahari tegak di atas kepala mereka. Demikian pula kisah Ustman bin Mazh’un tatkala ia kembali dari Habasyah dan mendapatkan perlindungan al-Walid bin al-Mughirah. Kemudian perlindungan ini dibatalkannya karena  menginginkan perlindungan Allah semata dan menolak dengan tegas apa yang diucapkan oleh penyair jahiliah itu, sehingga dirinya dikeroyok oleh banyak orang. Kendatipun dia melakukan perlawanan terhadap mereka, tetapi pengroyokan itu mengakibatkan kedua matanya memar terkena pukulan.

Tindakan membela diri atau menolak kedzaliman punya pengaruh yang positif dalam meningkatkan moralitas masyarakat, terutama orang yang menghargai dan mengagumi kepahlawanan. Bahkan hal itu dapat menjadi pendorong bagi orang yang ingin bergabung dalam barisan dakwah. Oleh karena itu , jelaslah bagi para kader dakwah untuk mengerahkan segala daya dan upaya dalam memperjuangkan agama islam ini. Akan banyak darah dan keringat yang bercucuran serta air mata yang membasahi pipi di dalam memperjuangkannya. Sejarah telah memberikan kita pelajaran yang sangat berharga, bahwa kader dakwah yang ikhlas berjuang demi tegaknya syari’at islam akan mampu mengangkat izzah dirinya juga izzah umat islam pada umumnya. Karena Allah akan senantiasa menolong hamba-Nya yang menolong agama-Nya dan ia bersabar, karena sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat. Allahu A’alam


By: Heri Setyo Wibowo

Minggu, 22 April 2012

Karakteristik Sembilan (Menekankan aspek spiritual)


Pada tahap pembinaan tidak ada sesuatu pengaruhnya yang lebih besar dalam jiwa selain dari pada ibadah ,karena dengan ibadah akan menghubungkan hati dengan Alllah, meneguhkan jiwa dalam menghadapi penderitaan, lulus menghadapi fitnah dan teguh diatas kebenaran.
Imam Ahmad meriwayatkan perkataan Aisyah ra, “ sesungguhnya Allah mewajibkan qiyamul lail pada awal surah ini. Kemudian Rasulullah saw dan para sahabatnya melaksanakannya selama satu tahun sampai kaki – kaki mereka bengkak. Allah menahan penutup surah itu dilangit selama 12 bulan kemudian Allah menurunkan keringanan diakhir surah sehingga qiyamul lail menjadin sunnah setelah diwajibkan”.
Qiyamul lail yang diwajibkan pada permulaan ini merupakan daurah tadribiah ‘anifah’pelatihan intensif dan keras’ untuk komitmen dan taatt kepada Allah selama satu tahun penuh dan seharusnya waktu malam hari hendaklah lebih banyak digunakan untuk qiyamul lail dan sedikit untuk istirahat
Qiyamul lail sendiri bukanlah sasaran atau hukuman Allah terhadap hambahNya, tetapi merupakan tarbiya imaniyah ‘pembinaan keimanan’ untuk mewujudkan hubungan yang kuat dengan Allah. Ia adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sarana untuk dzikirullah , tabatul dan tawakal kepadaNya. Hal ini menjadi senjata satu – satunya dalam pertarungan . Ialah yang membekali kaum  mu’minin dengan kesabaran   dalam menghadapi cobaan , penyikasaan dan penghinaan .ialah sanjata sautu – satunya dalam  periode ini yang tidak membolehkan konfrontasi langsung.
Para penyeruh ke jalan Allah sangat memerlukan senjata ini , dalam melaksanakan tugas da’wah yang selalu menghadapi berbagai rintangan dan gangguan . Jika pada tahapan ini seperti ini gerakan Islam tidak memperhatikan aspek ibadah , aspek ruhiyah, qiyamul lail yang rutin dan berkesinambungan, dan daurah – daurah secra berulang – ulang untuk “ hidup terus” , pasti akan menyaksikan para  prajuritnya berjatuhan satu demi satu dan rontok oleh benturan tribulasi.

By: Irfan Roismanto

Pengurus Hlaqoh Tujuh

Direktur Utama : Muhammad Perdana

Genderal Manajer : Muslimin

Sekertaris : Fahmi Syafaat

Manajer Fikriyah : Irfan Roismanto & Kelik Isbiyantoro

Manajer Ruhiyah : Heri Setyo Wibowo

Manajer Jasadiyah : Muhammad Faliqul Asbah